Monday, 25 July 2016

Max Havelaar - Kilas balik Indonesia dari mata Eduard Douwes Dekker



Judul              : Max Havelaar
Pengarang     : Multatuli
Tebal              : 477  halaman
Terbit             : Juli  2015  (cetakan VII)
Penerbit         : PT. Mizan Pustaka

            Buku ini sebenarnya adalah terjemahan dari buku Max Havelaar: Or the Coffee Auction of the Dutch Trading Company , yang diterbitkan di Edinburg pada tahun 1868 oleh Edmonston & Douglas.
            Sejujuranya aku menyesal baru membaca kisah ini pada usia yang sudah kepala tiga seperti sekarang. Kalau aku membacanya pada saat masih remaja aku pasti bisa lebih menghargai sejarah perjuangan bangsa ini. Aku beranggapan seperti itu karena meskipun dalam pelajaran sejarah di sekolah telah digambarkan betapa menderitanya  rakyat negeri ini pada jaman perjuangan namun penggamaran tersebut tidaklah detail dan menguras emosi seperti apa yang diceritakan dalam buku ini.
             Bagi yang tidak mengingat nama Multatuli mari kita sama-sama ingat kembali pelajaran sejarah saat sekolah. Disebutkan bahwa yang mengakhiri “tanam paksa” di Indonesia adalah sebuah buku dengan judul Max Havelaar yang beredar di Belanda. Karena buku itulah akhirnya  lahir politik etis atau politik balas budi di Indonesia.  Hal itulah yang membuat buku ini juga menjadi salah satu fase penting perjalanan bangsa ini merebut kemerdekaan.

Selain beberapa gambaran tentang "zaman penjajahan", dari buku ini juga bisa dilihat bagaimana negeri ini di Mata Eduard Douwes Dekker. Membaca tulisan tentang negeri ini yang ditulis oleh orang asing selalu menarik, karena selalu ada berbagai keadaan yang menurut mereka ganjil namun menurut kita biasa saja. 

            Di awal bagian buku ini, diceritakan seorang makelar kopi bernama Droogstopel yang bertemu dengan Sjaalman teman lama yang dianggapnya hanya sebagai seorang yang miskin dan pesakitan. Singkat cerita Droogstopel bersedia menerbitkan tulisan-tulisan Sjaalman yang ternyata bukan hanya berisi tentang kopi di Hindia Belanda namun juga berisi tentang buruknya pemerintahan di Hindia Belanda. Garis besar  tulisan Sjaalman adalah kisah tentang Max Havelaar seorang asisten Residen Lebak-Banten yang berusaha mengungkap dan mengakhiri penindasan yang terjadi di Hindia-Belanda.
Buku yang saya baca ini adalah terbitan tahun 2015 yang dalam penerbitannya  redaksi telah menyesuaikan beberapa penyesuaian minor namun ternyata aku tetap sedikit kesulitan mencernanya. Namun ada banyak hal menarik yang kutangkap dari karya Multatuli ini, berikut beberapa diantaranya :
Jika orang Eropa berkuda diikuti beberapa pejabat , yaitu sebanyak yang diperlukan untuk menyusun  laporan perjalanan inspeksinya, bupati diikuti oleh ratusan abdi dalem.”
Melihat gambaran diatas ternyata kebiasaan membawa banyak staf saat kunjungan kerja sudah menjadi kebiasaan sejak lebih dari seratus tahun lalu.
Dalam buku ini juga diceritakan bagaimana para pejabat Belanda memanfaatkan kepatuhan rakyat kepada pemimpin pribumi mereka. Para pemimpin pribumi diberikan berbagai keuntungan dari kerja keras rakyat yang akhirnya mereka tidak peduli kalau rakyat mereka menderita dibawah kehidupan mewah mereka.
Pada masa itu orang Eropa di Hindia belanda dibagi menjadi dua yaitu orang Eropa tulen dan mereka yang sedikit banyak dialiri darah Hindia. Orang Eropa yang “berdarah Murni” memiliki kelas yang lebih tinggi dari pada mereka yang berdarah campuran. Kesimpulannya keturunan Indonesia-Eropa  pada masa itu ternyata tidak menjadi keren seperti  jaman sekarang, dimana dengan dialiri darah Eropa seolah menjadi jaminan mudah masuk dunia entertaiment.
Selain beberapa hal diatas masih banyak hal menarik dalam buku karya Multatuli ini. Sebuah buku yang bisa dibilang  merupakan pembuka jalan bagi Kebangkitan Nasional negeri ini pada zaman penjajahan Belanda.

No comments:

Post a Comment

Bagikan

>