Judul :
Max Havelaar
Pengarang : Multatuli
Tebal : 477 halaman
Terbit : Juli 2015
(cetakan VII)
Penerbit : PT. Mizan Pustaka
Buku ini sebenarnya adalah terjemahan dari buku Max
Havelaar: Or the Coffee Auction of the Dutch Trading Company , yang diterbitkan
di Edinburg pada tahun 1868 oleh Edmonston & Douglas.
Sejujuranya aku menyesal baru membaca kisah ini pada usia
yang sudah kepala tiga seperti sekarang. Kalau aku membacanya pada saat masih
remaja aku pasti bisa lebih menghargai sejarah perjuangan bangsa ini. Aku
beranggapan seperti itu karena meskipun dalam pelajaran sejarah di sekolah
telah digambarkan betapa menderitanya
rakyat negeri ini pada jaman perjuangan namun penggamaran tersebut
tidaklah detail dan menguras emosi seperti apa yang diceritakan dalam buku ini.
Bagi yang tidak
mengingat nama Multatuli mari kita sama-sama ingat kembali pelajaran sejarah
saat sekolah. Disebutkan bahwa yang mengakhiri “tanam paksa” di Indonesia
adalah sebuah buku dengan judul Max Havelaar yang beredar di Belanda. Karena
buku itulah akhirnya lahir politik etis
atau politik balas budi di Indonesia.
Hal itulah yang membuat buku ini juga menjadi salah satu fase penting
perjalanan bangsa ini merebut kemerdekaan.
Selain beberapa gambaran tentang "zaman penjajahan", dari buku ini juga bisa dilihat bagaimana negeri ini di Mata Eduard Douwes Dekker. Membaca tulisan tentang negeri ini yang ditulis oleh orang asing selalu menarik, karena selalu ada berbagai keadaan yang menurut mereka ganjil namun menurut kita biasa saja.
Di awal bagian buku ini, diceritakan seorang makelar kopi
bernama Droogstopel yang bertemu dengan Sjaalman teman lama yang dianggapnya
hanya sebagai seorang yang miskin dan pesakitan. Singkat cerita Droogstopel
bersedia menerbitkan tulisan-tulisan Sjaalman yang ternyata bukan hanya berisi
tentang kopi di Hindia Belanda namun juga berisi tentang buruknya pemerintahan
di Hindia Belanda. Garis besar tulisan
Sjaalman adalah kisah tentang Max Havelaar seorang asisten Residen Lebak-Banten
yang berusaha mengungkap dan mengakhiri penindasan yang terjadi di
Hindia-Belanda.
Buku
yang saya baca ini adalah terbitan tahun 2015 yang dalam penerbitannya redaksi telah menyesuaikan beberapa
penyesuaian minor namun ternyata aku tetap sedikit kesulitan mencernanya. Namun
ada banyak hal menarik yang kutangkap dari karya Multatuli ini, berikut
beberapa diantaranya :
“Jika orang Eropa berkuda
diikuti beberapa pejabat , yaitu sebanyak yang diperlukan untuk menyusun laporan perjalanan inspeksinya, bupati
diikuti oleh ratusan abdi dalem.”
Melihat gambaran diatas
ternyata kebiasaan membawa banyak staf saat kunjungan kerja sudah menjadi
kebiasaan sejak lebih dari seratus tahun lalu.
Dalam buku ini juga
diceritakan bagaimana para pejabat Belanda memanfaatkan kepatuhan rakyat kepada
pemimpin pribumi mereka. Para pemimpin pribumi diberikan berbagai keuntungan
dari kerja keras rakyat yang akhirnya mereka tidak peduli kalau rakyat mereka
menderita dibawah kehidupan mewah mereka.
Pada
masa itu orang Eropa di Hindia belanda dibagi menjadi dua yaitu orang Eropa
tulen dan mereka yang sedikit banyak dialiri darah Hindia. Orang Eropa yang
“berdarah Murni” memiliki kelas yang lebih tinggi dari pada mereka yang
berdarah campuran. Kesimpulannya keturunan Indonesia-Eropa pada masa itu ternyata tidak menjadi keren
seperti jaman sekarang, dimana dengan
dialiri darah Eropa seolah menjadi jaminan mudah masuk dunia entertaiment.
Selain
beberapa hal diatas masih banyak hal menarik dalam buku karya Multatuli ini. Sebuah
buku yang bisa dibilang merupakan
pembuka jalan bagi Kebangkitan Nasional negeri ini pada zaman penjajahan
Belanda.
No comments:
Post a Comment